SUNTIANG
| Oleh : Nuzul Fadhli Ramadhan |
Oleh : Nuzul Fadhli Ramadhan
(Santri Insan Cendekia Payakumbuh )
“Uni Mira, berapa harga sewanya?”
“Satu juta, Ni?”
“Baiklah, saya pulang dulu, nanti
kembali lagi ke sini.”
Itulah kalimat terakhir Amak dikala masih ada penyewa Suntiang
kami. Terakhir? Memang, semenjak itu tak ada
lagi orang yang datang ke rumah
untuk menyewa. Lembaran-lembaran
uang pun tak hinggap lagi di tangan Amak
dan aku tak tahu mengapa Amak lebih memilih Suntiang
daripada alat perhiasan lainnya. Tetapi, Amak
pernah bilang kepadaku selain
mudah, menyewakan Suntiang bisa dibilang banyak labanya. Terlebih,
Suntiang Amak yang sudah naik daun,
membuat orang-orang yang akan menyewakan Suntiang langsung datang
ke rumah. Amak
tidak payah lagi menjajal Suntiang sambil menenteng foto Suntiang kami ke rumah-rumah penduduk
sekitar yang akan mengadakan pesta, lantas berpanas-panas
dan melawan angin dingin yang
menusuk. Kadang
aku berpikir, kenapa emak tidak memasang plang atau neonbox saja di simpang
jalan ke rumah kami? Jawabannya sederhana, “Yang punya tanah di simpang jalan
itu tak mengizinkan Amak, Nuzul.” Ah, mengapa rumah kami tak di tepi jalan saja ya?
Aku
tinggal di sebuah rumah papan
di tengah hijaunya sawah penduduk.
Untuk menuju kediamanku,
harus meniti pematang sawah. Walau hanya setapak, cukup untuk menghubungkanku ke jalan utama. Tak bisa
dilewati kendaraan beroda dua ataupun empat.
Abak?
Beliau telah tiada sejak Amak
menyerahkan Suntiang-suntiang itu kepadaku untuk disewakan,
tepatnya lima tahun lalu ketika aku masih berusia delapan tahun. Abak
meninggal karena kecanduan minum. Uang Amak habis hanya untuk membeli minum. Kadang aku berpikir ada hikmahnya di
balik semua ini. Amak tak harus membanting
tulang dengan kuat lagi hanya untuk membelikan Abak minuman keras. Tetapi sepeninggalan Abak, Amak sering sakit.
Lengkap sudah penderitaanku, seorang anak laki laki yang baru menginjak kaki di
usia remaja, harus melakoni hidup sebagai tukang Suntiang yang umumnya dikerjakan oleh ibu ibu.
Banyak
sudah mulut yang mengucap bahwa Suntiang
Amak kuno.
Mungkin itu seperti dongeng, yang tersebar dari mulut ke
mulut. Suntiang
baru lebih modern daripada Suntiang-suntiang yang kusewakan. Suntiang modern memiliki banyak varian warna seperti
ungu, biru, dan
merah muda. Padahal dalam budaya adat Minang, Suntiang identik dengan warna kuning keemasan
dengan baju beludru sebagai pasangannya.
Aku pernah bertanya kepada Amak, “Mengapa harus kuning keemasan, Mak? Lantas Amak menjawab, “Kuning keemasan itu bermakna kemakmuran. Seperti tanah Minang
ini yang berdiri di atas pulau Sumatera dulunya lebih dikenal dengan Pulau
Perca juga berarti kemakmuran.”
“Nuzul, coba kamu tawarkan Suntiang
kita ke tempat orang baralek itu, sebelah rumah Datuk
Bohin, manatahu
mereka masih mau dengan Suntiang
kita,” kata Amak.
“Iya,
Mak Nuzul akan pergi ke sana untuk menawarkan Suntiang kita,” balasku kepada Amak.
Tanpa diperintah
dua kali, aku langsung berpamitan kepada Amak dan segera melangkahkan kaki menuju ke sana. Akan
kugunakan cara Amak dengan
mengunjungi pintu demi pintu. Kubawa foto foto Suntiang yang akan kuperlihatkan kepada si pemilik rumah itu dengan
perasaan gembira. Foto-foto yang sudah lama, sudah digerogoti rayap-rayap
nakal.
Matahari mulai
beranjak jauh ke barat. Aku berjalan menyusuri pematang sawah, sesekali merentangkan
kedua tangan untuk menyeimbangkan tubuh
karena sempitnya jalan pematang sawah itu. Terkadang hatiku meringis mengingat kondisi Amak. Namun, melihat lautan hijau sawah,
hatiku menjadi tenang.
Diriku
tegak seperti melayang bebas terbawa angin. Aku di
depan rumah tempat baralek
yang Amak katakan, bertepatan di
sebelah kiri rumah Tuk Bohin. Tampak tenda-tenda
pesta terpasang di rumah. Tanpa
berpikir panjang, aku langsung bergegas mencari pemilik rumah.
“Permisi, apakah
di sini
akan ada acara pernikahan, Bu?” tanyaku kepada seseorang disana. Aku yakin ini
adalah si pemilik rumah.
“Kenapa? Mau
menyewakan Suntiang yang kuno itu?” Balasnya sinis.
“I...iya benar
bu. Saya ingin
menyewakan Suntiang untuk pernikahan. APakah ibu membutuhkannya?”
tawarku gugup dengan kepala tertunduk
“Kami tidak akan
menyewa Suntiang yang sudah kuno itu!
Kami sudah punya yang lebih bagus dan modern! Sudah pergi sana!” bentak ibu itu
kepadaku, lantas
mengusir.
“Kalau ibu tidak
membutuhkannya tidak apa-apa. Terimakasih,
Bu, saya pulang dulu,”
balasku kepadanya.
Masih menundukkan kepala dan
segera kutinggalkan.
Hati ini bak cermin yang terpecahkan
setelah mendengarkan ucapan pedas itu. Sangat perih. Sepertinya
sudah banyak mulut yang terlontar ucapan dusta bahwa
Suntiang yang aku sewakan kuno.
Dengan langkah kecewa segera aku kembali
pulang.
Walau berat, tungkai kaki ini tetap saja kulangkahkan. Sebenarnya
aku belum ingin pulang
sebelum Suntiang menghasilkan lembaran
nominal laba. Tapi, sekarang ke mana lagi tungkai kaki ini harus kubawa?
Semua orang sudah
beralih kepada Suntiang yang katanya
modern. Kulihat foto-foto Suntiang
di tanganku. Suntiang Amak berdiri kokoh diatas kepalanya. Ah,
Amak, Engkau memang cantik sekali
ketika muda dulu. Andaikan Bapak tidak mabuk. Andaikan Amak menyimpan uang sewa untuk kami. Andaikan! Andaikan dari dulu
tidak seperti ini...!
Dengan wajah marah dan tertunduk, aku
terus berjalan sampai menemui pematang sawah, jalan menuju kerumahku. Sore ini langit tak berwarna orange.
Gumpalan awan hitam itu seakan mengikutiku. Ingin mengadakan pertarungan denganku.
Belum
sampai kaki ini di jalan pematang sawah, seorang laki-laki berbadan gemuk,
sedang mengendarai motor besar, berlalu di sampingku dengan cepat. Prat... sekejap lumpur jalanan mengenaiku. Persis mengotori,
membasahi foto Suntiang ini. Ah,
semua telah tertutupi lumpur itu.
Aku geram. Ingin rasanya mengejar motor itu. Tapi terlalu kencang untuk kukejar. Ingin kumengadu
kepada langit, mengapa ini terjadi padaku!
Belum
sampai lima langkah aku berjalan, seorang wanita yang berbadan gemuk jua,
mengenakan daster corak bunga mawar, berlalu pula di sampingku lantas berkata, “Dengar
ya! Suntiangmu sudah tidak ada lagi
peminatnya! Itu terlalu besar dan berat! Kamu ingin membunuh kami heh! Bikin
malu saja!” bukannya
ia membantu, malah mencaciku. Mengapa orang orang benci padaku? ingin juga
kuteriaki mereka, Aku tidak minta makan kepada kalian!
Ku
buka pintu rumah. Kulempar foto yang sudah penuh dengan lumpur ini ke lantai. Tak
peduli kotor. Aku tertekan, hatiku bergetar. Ingin rasanya kusudahi ini semua.
Aku tidak ingin lagi menjadi tukang Suntiang.
Mungkin mereka benar, lebih baik menjadi tukang bengkel, ataupun buruh serabutan
di perkebunan seperti halnya teman-temanku, laki-laki desa lainnya.
Hatiku
bertanya, mengapa Amak tidak mengganti
atau menjual Suntiang ini dengan Suntiang yang modern itu, lantas
menyewakannya?
Dari
bilik dapur, Amak datang. beliau mendekatiku, mengelus punggungku, menghela nafas
lantas berkata “Nuzul, kamu harus sabar. Amak
tidak bisa menjual Suntiang ini
begitu saja dan membeli yang modern.”
Sepertinya
Amak tahu yang aku tanyakan. Aku
tertunduk lesu.
“Kita
harus tetap menjaga keaslian Suntiang.
Bayak sekali nilai-nilai filosofi dari Suntiang
ini. Memang Suntiang ini berat, tetapi
memiliki arti yang dalam.”
“Beratnya
Suntiang melambangkan beratnya tanggung jawab yang akan dipikul sang pengantin
wanita dalam perjalanan hidupnya sebagai istri dan ibu kelak.”
“Seseorang
perempuan yang akan memasuki gerbang rumah tangga harus bersedia dan ikhlas
menjunjung tinggi kehormatan keluarganya dan menjalankan segala beban yang
mungkin akan terasa berat, dengan tetap tersenyum gembira serta tetap anggun
bersahaja. Beban boleh berat, tenaga boleh kuat dan peran boleh tinggi
menjulang, namun hakikat sebagai perempuan harus tetap ditunjukkan dengan cantik memikat,” jelas Amak panjang.
“Jadi,
beratnya Suntiang ini bisa dikatakan
sebagai latihan seberapa beratnya tanggung jawab sebagai seorang istri,” tambah
Amak lagi.
“Amak sudah melihat Suntiang yang modern itu. Terasa lebih ringan. Bahkan seperti
ringan bando.”
Oh,
aku tidak boleh hanyut dengan wara-wiri ini. Aku seorang laki-laki. Sekali lagi aku seorang laki-laki.
Semestinya aku bisa bemain layaknya teman-temanku, bermain bola dan sebagainya.
“Mak,
aku tidak sanggup lagi melakoni ini. Aku laki-laki Mak. Menjajal Suntiang
bukanlah pekerjaanku. Kenapa tidak mereka saja perempuan yang pandai melakoni
ini?” akhirnya
aku bersuara.
“Nuzul,
Amak tahu. Tapi hanya kamu
satu-satunya harapan yang bisa menawarkan Suntiang
kita, sekaligus melestarikan budaya kita. Apakah kamu tidak ingin menjadi penyelamat budaya kita?
Siapa lagi yang harus melakukannya? Inginkah kamu menggadaikannya ke bangsa lain?” ucap Amak. Matanya mulai berkaca-kaca. Tak
kuasa melarang air matanya jatuh.
“Mak,
pokoknya aku tidak mau, Mak. Aku ini laki-laki!”
“Kamu
egois,
Nuzul. Hanya karena kamu seorang laki-laki, lantas menurutmu tanggung jawabmu
hanya berupa kerja keras atau serabutan di kebun?” ucap Amak lagi. Kini air mata beningnya benar-benar pecah.
“Amak tidak bisa membayangkan, semakin
banyak perempuan minang yang menikah, lalu mengenakan Suntiang hanya sebagai perhiasan kecantikan tanpa memperdulikan
betapa dalam makna Suntiang itu.
Mereka tidak bisa merasakan betapa berat beban tanggung jawab yang akan mereka
pikul nanti.” Amak menerawang jauh
kedepan. Bahkan, aku sendiri tidak mengerti maksud dari tanggung jawab yang berat itu.
Pertengkaran
terhenti. Aku terdiam dan Amak pun
terdiam seperti habis kata. Aku duduk menengadah ke atas tanda tak setuju,
sementara Amak, tertunduk.
Suasana
hening terpecahkan oleh suara ketukan pintu dari luar. Dengan malas
kulangkahkan kaki ini untuk membuka pintu. Ingin mengetahui siapa yang datang.
Saat kubuka, aku tahu itu Pak Syamsul, wali Nagariku.
Namun, ada gerangan apa Pak Syamsul datang ke rumah? Dirinya tamak berwibawa
mengenakan setelah dinas.
“Permisi
Uni Mira,”
“Oh,
Pak Syamsul. Silahkan masuk, Pak,” sambutku, mempersilahkan masuk.
“Ada
apa ya Pak Syamsul?” tanyaku sambil meredam amarah.
“Maaf, sepertinya Bapak menggangumu. Begini, Bapak
dengar kamu punya cukup banyak Suntiang
untuk disewakan?” tanya Pak Syamsul,
ingin tahu.
“Benar Pak,
memang ada apa, Pak?” ucapku, sedikit
terkejut
“Kamu tahu kan besok kita pawai tujuh belasan? Bapak ingin
menyewa beberapa Suntiang kamu untuk
acara besok,” ungkap Pak Syamsul.
“Ah,
tujuh belasan?” Batinku bertanya, tidak ingat hari esok.
“A... apa Pak?
Ah, tidak mungkin Pak Syamsul akan menyewanya. Banyak orang bilang Suntiang ini sudah kuno,” jawabku tidak percaya.
“Justru
itulah bapak
kemari. Pawai tujuh belasan besok pemerintah kabupaten mengadakan lomba busana Anak Daro. Bapak tahu Suntiangmu
asli, bukan? Walaupun sudah lama, kita tidak bisa mengatakannya kuno. Banyak
sekali nilai filosofi di dalamnya,” ungkap Pak Syamsul
“Suntiang modern itu tidak bisa disebut Suntiang. Suntiang yang benar terdapat banyak kelengkapan yang haru dipenuhi
sebelum memasangkan ke Anak Daro.
Mulai dari Beras sampai pandan yang harus dipasang terkebih dahulu. Namun
sekarang, Suntiang seperti bando anak
yang dipasang instan. Padahal itu benar-benar sudah menghilangkan makna dalam
dari Suntiang.”
Wajahku
tertunduk, dan berkata “I..Iya, Pak Syamsul. Benar.”
“Jadi,
bagaimana? Bapak akan sewa lima buah.”
“Lima buah? Bapak
yakin?” tanyaku kepada Pak Syamsul. Mencoba meyakinkan.
Pak Syamsul
tersenyum lembut, lantas menjawab, “Yakin, Nuzul”
***
Aku
mengelap lembut Suntiang. Sedikit
debu menutup
warna emasnya. Ini adalah hari kelima setelah aku memasang Suntiang pada pawai tujuh belasan kemarin. Masih jelas dalam
ingatan, perwakilan Nagariku berada
di barisan terakhir dalam pawai. Aku
lama memasangnya dan juga, Anak Daro itu berjalan
lambat. Aku sadar, Suntiang itu
memang berat seperti yang Amak
katakan. Namun, walau berat, mereka tetap terlihat anggun dan tidak terlihat keberatan dengan Suntiang yang bertengger kuat di kepala
itu. Mereka bisa berjalan dengan pasti dan bisa tersenyum lepas kepada penonton
yang berdiri di tepi jalan.
Baru
satu Suntiang yang kubersihkan,
seseorang datang dari arah pintu yang sedang menganga. Aku menoleh.
“Selamat
pagi, Nuzul.”
Seseorang
bersuara berat menyaaku dengan ramah. Itu Pak Syamsul. Aku mempersilahkannya
masuk.
Hening
sejenak. Pak Syamsul merogoh tas kantornya, lantas mengelurkan selembar kertas
dari dalamnya. Aku tak menegerti. Pak syamsul pun memberikan kertas itu padaku.
Dalam
hening kubaca, “Piagam penghargaan... Juara satu Suntiang Anak Daro.
Peringatan Tujuh Belas Agustus.”
Aku
tak percaya. Kucoba mengulang membacanya. Sungguh, ini di luar dugaan. Aku pun
berlari menuju dapur. Tanpa ragu, langsung kupeluk tubuh Amak yang sedang memasak. Aku tak kuasa melarang air mataku jatuh.
“Kenapa,
Nuzul?” tanya Amak, tak mengerti.
Aku
tak bisa bicara. Kuberi kertas yang ku pegang kepada Amak. Dengan mata berair karena asap tungku, Amak berusaha membaca kata demi kata. Beberapa detik, air mata Amak pun menetes. Setelah itu, langsung
memeluk balik diriku.
“Mak,
ternyata benar kata Amak. Suntiang kita lebih dari Suntiang modern itu. Nuzul sadar, Suntiang itu bagus, penuh dengan makna.
Nuzul berjanji akan selalu melestarikan Suntiang
kita, Mak. Nuzul tak akan malu lagi menawarkan Suntiang kita, walau Nuzul laki-laki.”
Aku
dan Amak menuju ruang tamu. Tak ingin
membuat Pak Syamsul menunggu lama, walau air mata masih berair dan memerah.
“Uni, ini sebagai rasa terima kasih kami.
Nuzul telah menawarkan Suntiang yang
masih bermakna kepada kami. Dengan Suntiang
itu Nagari kita bisa menjadi
pemenang.”
Amak hanya
mengangguk, tak bisa mengucap apa-apa
“Dan
selamat kepada Nuzul, berdasarkan
musyawarah aparat kabupaten, Nuzul diangkat menjadi duta kebudayaan
kabupaten.”
Apa?
Duta kebudayaan kabupaten? Ah, kenapa harus aku? Oh, entahlah, aku seperti
terbang dalam mimpi. Diriku mematung, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Keterangan :
Suntiang : Hiasan kepala mempelai wanita suku
minangkabau
Nagari : Kelurahan / desa
Anak Daro : Pengantin wanita
Uni : Kakak perempuan
Amak : Ibu
Abak : Ayah


0 komentar: